LPA

Kamis, 07 Juni 2012

Membangun Kepercayaan Murid dengan Guru

Membangun Kepercayaan Murid dengan Guru
Oleh : Mohammad Fauzi Adhim

TRUST –Kepercayaan adalah unsur paling penting yang harus ada dalam hubungan murid dengan guru. Jika murid tidak memiliki kepercayaan yang bulat dan mendalam kepada gurunya, maka sebaik apa pun kemampuan guru menguasai materi, tak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan pendidikan. Murid mungkin menguasai mata pelajaran dengan baik, tetapi ia tidak berhasil membangun jiwanya. Kualitas pribadinya tidak berkembang dan ketaatannya pada nilai-nilai yang dibangun oleh guru hanya berlaku selama guru tersebut masih memiliki kepribadian.
Agar anak-anak yang mewarisi masa depan ini mampu menjadi pemimpin yang mendasarkan pada kebenaran, bertumpu pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kepercayaan yang mutlak, mereka harus memperoleh pengalaman pendidikan yang di dalamnya terdapat iklim kepercayaan yang kuat terhadap guru. Mereka kita siapkan dalam lingkungan yang memiliki penghormatan dan adab yang tinggi terhadap guru.
Menancapnya kepercayaan yang kuat dalam dada setiap murid –bukan sekadar siswa— akan melahirkan dorongan untuk melihat, mendengar, meniru, dan menghayati setiap tutur dan perilaku guru. Mereka memiliki sikap positif terhadap guru, mencintainya dan menjadikannya sebagai figur teladan. Jika guru mengembangkan hubungan yang hangat dan empatik, maka para murid akan mengarahkan diri mereka masing-masing untuk siap memerhatikan dan mematuhi setiap yang mereka dengar dari gurunya.
Itu berarti, sekiranya guru tidak memiliki keterampilan mengajar yang memadai, sementara kualitas pribadi sebagai figur yang layak diteladani dan dipercaya mampu menjalin kedekatan emosi dengan murid, maka proses pembelajaran dan pendidikan akan tetap berlangsung efektif. Kata-kata guru akan tetap berpengaruh kuat pada diri murid meski suara mereka lemah dan cara penyampaiannya tidak atraktif.
Artinya, mengajar (ta’lim) sebagai proses transfer ilmu hanya bagian permukaan dari keseluruhan kegiatan mendidik di sekolah.
Jika ini terjadi, insya Allah, guru mampu mengelola para muridnya di kelas secara mandiri dan efektif. Tidak perlu dua orang guru untuk mengelola satu kelas yang terdiri dari 40-50 orang murid di dalamnya, sekalipun untuk SD kelas bawah.
Apa jumlah murid sebanyak itu tidak menciptakan keributan? Jawabnya sederhana. Jika kelas tidak efektif, 24 murid dengan 2 guru sekalipun tetap menghasilkan kegaduhan. Sebaliknya kelas besar yang efektif akan menciptakan iklim pembelajaran yang sangat kondusif dan dinamis. Chua Chu Kang, sebuah sekolah dasar di Singapura menerapkan pembelajaran kelas besar dan hasilnya… luar biasa, baik dari segi karakter maupun kompetensi.
Artinya, bukan rasio guru-murid yang menjadi faktor penentu utama keberhasilan kelas. Rasio guru-murid 1:10 tidak menunjukkan kualitas apa pun bagi sebuah sekolah jika guru tidak memiliki kelayakan dipercaya (trustworthiness) yang tinggi dan kualitas hubungan yang hangat. Sama seperti laboratorium bahasa atau komputer, kehadirannya tidak serta merta menjadikan sekolah memiliki kualifikasi tinggi jika perubahan fisik tidak disertai dengan perubahan paradigma dan cara berpikir.
Itu sebabnya, perlu kerjasama yang baik antara guru dan orangtua agar setiap murid memiliki tingkat kepercayaan (trust) tinggi pada guru. Sebagaimana murid, para orangtua juga harus menjalani, menghormati dan menjaga adab sebagai orangtua murid terhadap guru selaku murabbir ruh (pendidik dan penata jiwa) serta sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan para murid untuk menjadi orang yang berilmu, gemar mencari ilmu, suka beramal shalih dan memiliki rasa tanggung-jawab untuk senantiasa mengingatkan saudaranya agar menetapi kebenaran. Apa pun yang dilakukan oleh guru dan sekolah, orangtua tidak boleh protes dan menunjukkan celaan di hadapan anaknya. Sebaliknya, orangtua justru harus menjadi penengah yang membantu anak memahami guru dan sekolah, atau memberi perspektif positif pada diri anak dalam memandang guru maupun sekolah.
Ini bukan berarti tak ada jalan bagi orangtua untuk memperbaiki dan bahkan mengoreksi guru secara total –jika memang harus terjadi. Tetapi upaya untuk mengingatkan, menasihati dan memperbaiki guru maupun sekolah harus dilakukan dengan cara yang santun, menjaga kredibilitas guru dan sekolah, serta memerhatikan waktu dan tempat yang tepat. Dalam hal ini, sekolah bisa memfasilitasi dengan menyediakan forum dan sarana bagi orangtua untuk menyampaikan kritik, teguran dan masukan.
Nah.
Jika orangtua harus menjaga tingkat kepercayaan anak terhadap guru, maka guru pun memiliki tugas untuk menumbuhkan kecintaan, kepercayaan, ketaatan dan penghormatan terhadap orangtua pada diri setiap murid. Upaya ini, insya Allah, jauh lebih efektif dibanding jika masing-masing menyibukkan diri untuk mengingatkan murid agar menghormati diri. Perintah guru agar anak menghormati orangtua jauh lebih didengar daripada perintah untuk menghormati guru itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, iklim penghormatan terhadap guru yang berkembang di rumah lebih mudah membangkitkan kepercayaan dan ketaatan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Menghargai, menyambut dengan hangat ujaran dan nasihat, bergairah dan menghormati gagasan dan pendapat guru merupakan pilar kedua keberhasilan pendidikan di sekolah. Kita lebih mudah menerima, menyerap, mencerna, dan memahami apa yang diajarkan kepada kita apabila ada rasa hormat yang amat dalam pada diri kita terhadap sang pengajar, yakni guru.
Itu berarti, sebelum berbincang tentang kompetensi guru atas materi yang diajarkan serta keterampilan dalam mengajarkan di kelas, kita harus lebih dulu membangun sikap hormat pada setiap diri murid. Jika iklim penghormatan terhadap guru muncul, insya Allah, akan mudah bagi sekolah untuk menumbuhkan dua iklim berikutnya, yakni motivasi dan belajar. Artinya, motivasi sudah merupakan bagian dari iklim sekolah. Bukan hanya kegiatan yang dilakukan pada waktu tertentu.
Tumbuhnya iklim penghormatan (climate of respect) di sekolah menjadikan pembelajaran di kelas maupun luar kelas sebagai proses yang menyenangkan. Ada keinginan yang kuat pada diri murid untuk secara terus menerus menemukan pengalaman belajar. Mereka juga belajar membangun kompetensi personal berupa kemampuan menghargai diri, menilai diri, mengendalikan diri, serta menghargai orang lain. Jika suasana ini berkembang secara berkesinambungan, maka setiap murid dapat menjadi penguat bagi murid lain. Di sinilah gairah belajar yang sesungguhnya akan tercipta. Di sinilah pembelajaran yang mandiri akan terbangun.
Pada tingkat ini, keterampilan mengajar yang kurang memadai menjadi ”tidak terlalu mengganggu”. Tentu saja bukan berarti guru boleh mengabaikan aspek ini. Justru sebaliknya, guru harus terus- menerus mengembangkan kemampuan mengajar agar lebih komunikatif. Ingat, salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah tabligh (komunikatif) .
Nah, aspek yang sangat menentukan bagi tumbuhnya sikap respect murid terhadap guru adalah kepercayaan yang bulat. Ini berarti, menumbuhkan rasa hormat murid terhadap guru harus berbarengan dengan upaya membangun kepercayaan. Secara terus menerus kita perlu membangun dan menjaganya, meski guru tersebut sudah tidak lagi mengajar anak-anak kita.
Terakhir, adalah ikatan emosi antara murid dan guru. Ruang kelas yang bisa kita sediakan bagi murid-murid kita mungkin tak begitu nyaman. Tapi bila terdapat hubungan emosi yang sangat hangat dan kuat, maka apa pun bentuk ruangan kelasnya, pembelajaran akan senantiasa terasa menyenangkan.
Wallahu a’lam bishawab.

Sumber : hidayatullah.com

Kamis, 22 Desember 2011

Cara Penyelesaian Persamaan Kuadrat


Bentuk umum : ax² + bx + c = 0
x variabel; a,b,c konstanta ; a ¹0
Menyelesaikan persamaan kuadrat berarti mencari harga x yang memenuhi persamaan kudrat (PK) tersebut (disebut akar persamaan kuadrat). Suatu bilangan disebut akar dari suatu persamaan berarti bilangan tersebut memenuhi persamaan.
Andaikan x1dan x2adalah akar-akar persamaan kuadrat, maka x1dan x2dapat ditentukan dengan cara
  • Memfaktorkan
    ax² + bx + c = 0 ® ax² + bx + c = 0 ® a (x + p/a) (x + p/a) = 0
    ®
    x1= – p/a dan x2 = – q/adengan p.q = a.c dan p + q = b
  • Melengkapkan bentuk kuadratpersamaan kuadrat tersebut dibentuk menjadi
    (x + p)² = q² ® x + p = ± q
    x1 = q – p dan x2 = – q – p
  • Rumus ABCax² + bx + c = 0 ® X1,2 = ( [-b ± Ö(b²-4ac)]/2abentuk (b² – 4ac) selanjutnya disebutDISKRIMINAN (D) sehingga
    sehingga X1,2 = (-b ± ÖD)/2a

Sumber : http://ilmumatematika.com

Jumat, 18 November 2011

How To Bring Cheer to Others

Di saat kita sedang mengalami kejenuhan, bosan, suntuk atau bahkan mengalami masalah yang berat, sering kali kita membangun tembok-tembok yang tinggi bertuliskan “DO NOT DISTURB” (Jangan Mengganggu). Tentu saja, teman-teman dan keluarga kita bisa melihat tembok itu dengan jelas, karena tulisan tersebut melekat pada wajah kita. Dan kita juga menjadi pribadi yang tidak mau peduli dengan sekitar kita. “EGP! Tidak peduli! Saya juga sedang ada masalah!” Begitulah pembelaan yang sering kita lontarkan.
“Saya butuh dihibur!” atau “Saya jenuh, tetapi tidak ada yan peduli pada saya!” Pertanyaannya, bagaimana orang bisa mendekati kita di saat kita tetap memperlihatkan duri di punggung kita seperti landak yang siap menyerang? Dengan tembok-tembok yang bertuliskan “Do Not Disturb!”? Melihat wajah kita yang sedang stres, marah, tidak ada senyum, tentu mereka sudah ketakutan atau menjaga jarak.
Seringkali kita menuntut orang-orang untuk mengerti kondisi kita, perhatian dengan kita karena kita terlalu mengasihani diri sendiri (“Saya kan sedang ada masalah, hidup saya susah,” dan sebagainya). Loh, memang yang punya masalah hanya kita sendiri? Semua orang pasti punya masalah.
Dan egoisnya manusia, di saat dia sedang mengalami masalah, di saat dia sedih, dia akan mengatakan, “Bagaimana saya bisa menghibur orang lain, sedangkan diri sayalah yang butuh dihibur?” atau “Bagaimana saya bisa berbagi, sedangkan saya sudah tidak punya apa-apa lagi?”


Beberapa hari yang lalu, saya merasa jenuh dan lelah sekali dengan rutinitas saya. Lalu, saya berpikir untuk me-nonaktifkan BBM saya. Tetapi, saya tidak melakukannya. Saat malam tiba, saya baru saja ingin beristirahat. Tiba-tiba, satu per satu teman saya mengirimkan BBM dan meminta waktu saya untuk mendengarkan curhatan mereka, ada yang merasa kesepian, ada yang merasa jenuh. Saya pun dengan sabar membaca BBM mereka, lalu, menarik nafas dalam-dalam, dan tersenyum, dan membalas BBM mereka dengan memberikan semangat kepada mereka.
Setelah itu, mereka mengucapkan terima kasih atas waktu dan semangat yang saya berikan kepada mereka. Mereka memberikan icon ‘tersenyum’. Saya tidak membantu mereka menyelesaikan masalah, tetapi saya mencoba untuk menghibur mereka, bahwa segalanya akan baik-baik saja. Lalu apa yang terjadi? Saya yang tadinya juga merasa jenuh dan tidak semangat, seolah dikembalikan semangatnya dua kali lipat. Mereka mengucapkan terimakasih berkali-kali. Saya tidak merasa berbuat apa-apa, tidak membantu apa-apa. Saya hanya memberikan waktu untuk mendengarkan mereka. Terkadang, tanpa kita sadari, sekecil apapun yang kita lakukan untuk orang lain, itu sangat berarti bagi mereka.
Mungkin teman-teman juga pernah mengalami hal yang sama dengan pengalaman saya ini. Semoga kita selalu belajar untuk berbagi dalam kondisi apapun, karena apa yang kita bagikan akan dikembalikan kepada kita, bahkan dilipatgandakan.
The best way to cheer yourself is to try to cheer someone else up. – Mark Twain
The unselfish effort to bring cheer to others will be the beginning of a happier life for ourselves. – Helen Keller