Membangun Kepercayaan Murid dengan Guru
Oleh : Mohammad Fauzi Adhim
TRUST –Kepercayaan adalah unsur paling penting yang harus ada dalam
hubungan murid dengan guru. Jika murid tidak memiliki kepercayaan yang
bulat dan mendalam kepada gurunya, maka sebaik apa pun kemampuan guru
menguasai materi, tak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan
pendidikan. Murid mungkin menguasai mata pelajaran dengan baik, tetapi
ia tidak berhasil membangun jiwanya. Kualitas pribadinya tidak
berkembang dan ketaatannya pada nilai-nilai yang dibangun oleh guru
hanya berlaku selama guru tersebut masih memiliki kepribadian.
Agar anak-anak yang mewarisi masa depan ini mampu menjadi pemimpin
yang mendasarkan pada kebenaran, bertumpu pada al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan kepercayaan yang mutlak, mereka harus memperoleh pengalaman
pendidikan yang di dalamnya terdapat iklim kepercayaan yang kuat
terhadap guru. Mereka kita siapkan dalam lingkungan yang memiliki
penghormatan dan adab yang tinggi terhadap guru.
Menancapnya kepercayaan yang kuat dalam dada setiap murid –bukan
sekadar siswa— akan melahirkan dorongan untuk melihat, mendengar,
meniru, dan menghayati setiap tutur dan perilaku guru. Mereka memiliki
sikap positif terhadap guru, mencintainya dan menjadikannya sebagai
figur teladan. Jika guru mengembangkan hubungan yang hangat dan empatik,
maka para murid akan mengarahkan diri mereka masing-masing untuk siap
memerhatikan dan mematuhi setiap yang mereka dengar dari gurunya.
Itu berarti, sekiranya guru tidak memiliki keterampilan mengajar yang
memadai, sementara kualitas pribadi sebagai figur yang layak diteladani
dan dipercaya mampu menjalin kedekatan emosi dengan murid, maka proses
pembelajaran dan pendidikan akan tetap berlangsung efektif. Kata-kata
guru akan tetap berpengaruh kuat pada diri murid meski suara mereka
lemah dan cara penyampaiannya tidak atraktif.
Artinya, mengajar (ta’lim) sebagai proses transfer ilmu hanya bagian permukaan dari keseluruhan kegiatan mendidik di sekolah.
Jika ini terjadi, insya Allah, guru mampu mengelola para muridnya di
kelas secara mandiri dan efektif. Tidak perlu dua orang guru untuk
mengelola satu kelas yang terdiri dari 40-50 orang murid di dalamnya,
sekalipun untuk SD kelas bawah.
Apa jumlah murid sebanyak itu tidak menciptakan keributan? Jawabnya
sederhana. Jika kelas tidak efektif, 24 murid dengan 2 guru sekalipun
tetap menghasilkan kegaduhan. Sebaliknya kelas besar yang efektif akan
menciptakan iklim pembelajaran yang sangat kondusif dan dinamis. Chua
Chu Kang, sebuah sekolah dasar di Singapura menerapkan pembelajaran
kelas besar dan hasilnya… luar biasa, baik dari segi karakter maupun
kompetensi.
Artinya, bukan rasio guru-murid yang menjadi faktor penentu utama
keberhasilan kelas. Rasio guru-murid 1:10 tidak menunjukkan kualitas apa
pun bagi sebuah sekolah jika guru tidak memiliki kelayakan dipercaya
(trustworthiness) yang tinggi dan kualitas hubungan yang hangat. Sama
seperti laboratorium bahasa atau komputer, kehadirannya tidak serta
merta menjadikan sekolah memiliki kualifikasi tinggi jika perubahan
fisik tidak disertai dengan perubahan paradigma dan cara berpikir.
Itu sebabnya, perlu kerjasama yang baik antara guru dan orangtua agar
setiap murid memiliki tingkat kepercayaan (trust) tinggi pada guru.
Sebagaimana murid, para orangtua juga harus menjalani, menghormati dan
menjaga adab sebagai orangtua murid terhadap guru selaku murabbir ruh
(pendidik dan penata jiwa) serta sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan
para murid untuk menjadi orang yang berilmu, gemar mencari ilmu, suka
beramal shalih dan memiliki rasa tanggung-jawab untuk senantiasa
mengingatkan saudaranya agar menetapi kebenaran. Apa pun yang dilakukan
oleh guru dan sekolah, orangtua tidak boleh protes dan menunjukkan
celaan di hadapan anaknya. Sebaliknya, orangtua justru harus menjadi
penengah yang membantu anak memahami guru dan sekolah, atau memberi
perspektif positif pada diri anak dalam memandang guru maupun sekolah.
Ini bukan berarti tak ada jalan bagi orangtua untuk memperbaiki dan
bahkan mengoreksi guru secara total –jika memang harus terjadi. Tetapi
upaya untuk mengingatkan, menasihati dan memperbaiki guru maupun sekolah
harus dilakukan dengan cara yang santun, menjaga kredibilitas guru dan
sekolah, serta memerhatikan waktu dan tempat yang tepat. Dalam hal ini,
sekolah bisa memfasilitasi dengan menyediakan forum dan sarana bagi
orangtua untuk menyampaikan kritik, teguran dan masukan.
Nah.
Jika orangtua harus menjaga tingkat kepercayaan anak terhadap guru,
maka guru pun memiliki tugas untuk menumbuhkan kecintaan, kepercayaan,
ketaatan dan penghormatan terhadap orangtua pada diri setiap murid.
Upaya ini, insya Allah, jauh lebih efektif dibanding jika masing-masing
menyibukkan diri untuk mengingatkan murid agar menghormati diri.
Perintah guru agar anak menghormati orangtua jauh lebih didengar
daripada perintah untuk menghormati guru itu sendiri. Begitu pula
sebaliknya, iklim penghormatan terhadap guru yang berkembang di rumah
lebih mudah membangkitkan kepercayaan dan ketaatan. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Menghargai, menyambut dengan hangat ujaran dan nasihat, bergairah dan
menghormati gagasan dan pendapat guru merupakan pilar kedua
keberhasilan pendidikan di sekolah. Kita lebih mudah menerima, menyerap,
mencerna, dan memahami apa yang diajarkan kepada kita apabila ada rasa
hormat yang amat dalam pada diri kita terhadap sang pengajar, yakni
guru.
Itu berarti, sebelum berbincang tentang kompetensi guru atas materi
yang diajarkan serta keterampilan dalam mengajarkan di kelas, kita harus
lebih dulu membangun sikap hormat pada setiap diri murid. Jika iklim
penghormatan terhadap guru muncul, insya Allah, akan mudah bagi sekolah
untuk menumbuhkan dua iklim berikutnya, yakni motivasi dan belajar.
Artinya, motivasi sudah merupakan bagian dari iklim sekolah. Bukan hanya
kegiatan yang dilakukan pada waktu tertentu.
Tumbuhnya iklim penghormatan (climate of respect) di sekolah
menjadikan pembelajaran di kelas maupun luar kelas sebagai proses yang
menyenangkan. Ada keinginan yang kuat pada diri murid untuk secara terus
menerus menemukan pengalaman belajar. Mereka juga belajar membangun
kompetensi personal berupa kemampuan menghargai diri, menilai diri,
mengendalikan diri, serta menghargai orang lain. Jika suasana ini
berkembang secara berkesinambungan, maka setiap murid dapat menjadi
penguat bagi murid lain. Di sinilah gairah belajar yang sesungguhnya
akan tercipta. Di sinilah pembelajaran yang mandiri akan terbangun.
Pada tingkat ini, keterampilan mengajar yang kurang memadai menjadi
”tidak terlalu mengganggu”. Tentu saja bukan berarti guru boleh
mengabaikan aspek ini. Justru sebaliknya, guru harus terus- menerus
mengembangkan kemampuan mengajar agar lebih komunikatif. Ingat, salah
satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah tabligh
(komunikatif) .
Nah, aspek yang sangat menentukan bagi tumbuhnya sikap respect murid
terhadap guru adalah kepercayaan yang bulat. Ini berarti, menumbuhkan
rasa hormat murid terhadap guru harus berbarengan dengan upaya membangun
kepercayaan. Secara terus menerus kita perlu membangun dan menjaganya,
meski guru tersebut sudah tidak lagi mengajar anak-anak kita.
Terakhir, adalah ikatan emosi antara murid dan guru. Ruang kelas yang
bisa kita sediakan bagi murid-murid kita mungkin tak begitu nyaman.
Tapi bila terdapat hubungan emosi yang sangat hangat dan kuat, maka apa
pun bentuk ruangan kelasnya, pembelajaran akan senantiasa terasa
menyenangkan.
Wallahu a’lam bishawab.
Sumber : hidayatullah.com